Pengalaman Selama Study di Taiwan




Nilai 2 dan Mimpi yang Semakin Nyata

*Pemenang Lomba Cerita Inspirasi 2015 diselenggarakan oleh PPI Taiwan*

By: Damiana Simanjuntak

Mimpi itu milik siapa saja. Tidak peduli apakah kau miskin, bodoh, jelek atau apa pun. Bermimpilah, mimpi yang besar, meski itu terlihat mustahil. Bermimpi tidak perlu bayar kok. Aku mempunyai mimpi masa kecil. Mimpi untuk kuliah, sekolah setinggi-tingginya. Hanya itu. Ah, itu sudah biasa bagi sebagian orang. Kuliah tidak ada istimewanya. Tapi bagi orang miskin seperti aku ini, kuliah itu sesuatu yang mustahil. Aku lahir di desa terpencil yang belum dialiri listrik, desa yang hanya bisa dijangkau dengan alat transportasi kuda. Di sekolahku saat itu, SDN 173619 Panamparan, hanya ada satu orang guru honorer. Kami membayar honornya dengan beras, tiap-tiap siswa membawa 1 liter beras ke sekolah setiap bulan. Aku tamat dari SD ini hanya dengan bekal kemampuan baca tulis, sedikit berhitung. Aku sama sekali tidak bisa berbahasa Indonesia, yang kutahu hanya bahasa daerah.
Tahun 2009 mimpi masa kecilku itu tercapai. Aku bisa kuliah di universitas terbaik di Sumatra Utara. Menjalaninya dengan penuh kerja keras, memperjuangkannya dengan susah payah, dan menyelesaikannya dengan sempurna. Ternyata mimpi itu melahirkan mimpi baru, mimpi yang hingga kini masih kugenggam erat. Setelah tamat kuliah S1, aku sempat bekerja selama satu tahun. Mimpi itu tidak pernah hilang, selalu mengetuk-ketuk kepalaku dari dalam. Selama bekerja, aku menyempatkan diri untuk mengikuti les Bahasa Inggris. Sesungguhnya aku sangat lambat (benci) belajar Bahasa Inggris, namun aku tau mimpi itu mengharuskanku untuk mempelajarinya. Dengan skor TOEFL yang rendah aku memberanikan diri untuk mencoba beasiswa Taiwan. Aku mendaftar untuk semester spring. Malang, dari sekian banyak lamaran yang kukirim tidak satu pun yang menerima. Rasanya sungguh kecewa. Uang sudah habis, lelah ngurus berkas kesana-kemari, pusing membagi waktu antara kerja dan belajar, tidak lulus pula.
Dalam hati aku merasa pantas mendapatkan semua itu. Aku tidak memiliki IPK cumlaude untuk memenuhi syarat beasiswa luar negeri pada umumnya, aku bukanlah mahasiswa yang pintar. Wajar saja dengan IPKku yang cuma sedikit di atas rata-rata itu aku tidak lulus. Bagaikan si pungguk merindukan bulan, begitulah aku yang melamar beasiswa luar negeri ini. Sempat down, kecewa. Rasanya terlalu jauh aku memimpikan semua itu. Tapi di tengah-tengah kegagalan itu lagi-lagi aku merenung tentang mimpi itu. Mimpi itu begitu kuat sampai-sampai kecewaku tidak mampu menghentikannya. Tidak, aku tidak akan menyerah. Tidak pada kegagalan, tidak pada masalah, tidak juga pada Bahasa Inggris.
Semester selanjutnya, aku kembali mendaftar untuk semester fall. Sebuah universitas negeri di Taiwan menerimaku dengan beasiswa parsial, universitas yang kutau akan menjadi tempatku melanjutkan mimpi masa kecil itu.
Setelah perjuangan mengumpulkan uang kesana-kemari, setelah persiapan panjang yang menguras energi dan materi dan setelah diskusi yang alot dengan orang tua, akupun akhirnya berangkat menuju negeri formosa. Orang tuaku sudah tua, sudah berumur sekitar 70 tahunan. Wajar saja mereka merasa berat untuk melepaskanku pergi untuk menuntut ilmu kembali. Menurut mereka aku sebaiknya bekerja saja dan menghasilkan uang.
Perjuangan itu baru benar-benar terasa setelah aku sampai di Taiwan. Jurusan kami, Economics (Ekonomi Murni) diajarkan dalam dua bahasa atau bilingual, setengah Bahasa Inggris dan setengah Bahasa Mandarin. Aku sudah mengetahui kondisi ini sejak mendaftar ke universitas ini. Namun bagiku itu adalah sebuah tantangan, dan aku sudah siap menghadapinya.
Katanya bilingual, kenyataanya dosennya sering lupa berbahasa Inggris. Kalaupun dia berbahasa Inggris, kadang terdengar seperti bahasa mandarin di telingaku. Kami belajar di kelas reguler, digabung dengan mahasiswa lokal karena mahasiswa internasionalnya cuma dua orang, aku dan temanku Dori. Sebenarnya hal ini menjadi sebuah dilema bagi dosen. Jika dia berbahasa Inggris maka mahasiswa lokal akan kesulitan memahami, jika dia berbahasa Mandarin maka kami yang dua orang inilah yang tidak mengerti. Jika diajarkan dengan billingual maka materi yang sangat banyak itu tidak akan tersampaikan semua. Serba salah memang.
Bisa dibayangkan apa yang kuhadapi kelas dengan kemampuan bahasa Inggrisku yang pas-pasan dan bahasa Mandarin yang benar-benar buta. Ada satu matakuliah yang karena keterbatasan waktu harus diajarkan sepenuhnya dalam Bahasa Mandarin, matakuliah Matematika Ekonomi. Untuk mata kuliah ini, aku benar-benar angkat bendera putih. Padahal mata kuliah ini adalah dasar untuk semua mata kuliah yang lain.
Sejujurnya jika diterangkan dalam Bahasa Indonesiapun belum tentu aku mengerti mata kuliah ini, karena materinya memang sangat susah karena mengaplikasikan konsep Matematika dalam Ilmu Ekonomi. Apalagi dengan menggunakan bahasa yang bagaikan bahasa planet lain bagiku. Rumusnya datang dari mana, digunakan untuk apa dan kapan digunakan, aku tidak tau. Astaga, aku merasa mual, pusing dan keringat dingin jika sudah melihat perpaduan kalkulus dan tulisan mandarin yang berbentuk balok dan kotak-kotak itu di papan tulis. Apalagi dengan penjelasan dosen yang berbahasa Mandarin, rasanya seperti ada tawon terbang-terbang di dekat telingaku. Ngang ngung ngeng, yah, itulah yang kudengar selama 3 jam tiap kuliah. Itu sanggup buat emosi naik dan angan melambung tinggi. Meskipun istirahat cukup dan makan kenyang, tetapi setelah kuliah 3 jam dengan Bahasa Mandarin itu rasanya seperti tidak tidur seminggu dan tidak makan 2 hari, benar-benar lemas. Itu kedengaran lebay, tapi itu benar. Meskipun begitu, kami sangat menanti-nanti kapan dosen kami ini berkata satu katapun dalam Bahasa Inggris. Saat itu terjadi, kepala kami berdua langsung terangkat berusaha menyimak apa yang dikatakannya. Kenyataan, sepatah kata yang kami dengar tidak cukup untuk membuat kami mengerti pelajaran itu.
Dori... Temanku ketika kuliah S1. Aku berangkat kesini bersama dia. Hanya ada 2 orang mahasiswa internasional di jurusan kami, yaitu aku dan dia. Tidak seperti aku, dia adalah mahasiswa paling cemerlang di Fakultas Ekonomi di kampus paling top di Sumatera sana, dengan IPK cumlaude dan score toefl diatas 600. Tapi di sini kami menghadapi kondisi yang sama. Di semester pertama kemampuan Bahasa Inggrisnya yang jago itu hampir tidak terpakai sama sekali karena bahasa yang dipakai di kelas adalah Bahasa Mandarin. Ah, malangnya dia. Materi dan gelar yang kami banggakan dan kami junjung tinggi itu hampir tidak berguna disini. Apa yang kami pelajari ketika kuliah S1 tidak kami gunakan disini. Apakah kami memulai dari 0? Tidak! Kami memulainya dari minus. Di samping itu, kami belum terbiasa dengan para dosen di sini yang sungguh disiplin.
Saat para mahasiswa master di jurusan lain sudah sibuk dengan paper dan penelitian, kami masih dijejali dengan teori dan ujian-ujian. Ada ujian akhir, dua kali ujian mid-term dan dua kali kuis untuk tiap-tiap mata kuliah. Jika kami membawa 4 mata kuliah, berapa kalikah kami ujian dalam satu semester?
Di semester pertama aku benar-benar depresi. Aku masih sangat kesusahan untuk memahami penjelasan rumus-rumus di buku teks yang berbahasa Inggris itu. Buku berbahasa Inggris, dosen berbahasa Mandarin, kemampuan Bahasa Inggris pas-pasan, lengkaplah penderitaan dengan kemampuan Matematikaku yang juga tidak kuat. Sebenarnya dosen-dosen kami di sini sangatlah baik. Mereka selalu berusaha menolong kami dan terbuka untuk berdiskusi. Namun diskusi berjam-jam pun tidak akan cukup bagi kami untuk mengejar ketertinggalan selama ini. Di samping itu para dosen juga bekerja dengan profesional, tidak membeda-bedakan kami dalam ujian maupun nilai. Soal ujian dibuat dalam Bahasa Inggris, dan mahasiswa bebas menjawabnya dalam Bahasa Inggris atau Bahasa Mandarin. Kami tentu saja menjawab ujian dengan Bahasa Inggris, karena tidak mungkin juga kami menjawabnya dengan Bahasa Indonesia. Dosen juga memberikan nilai secara objektif, sesuai kemampuan kami yang sebenarnya.
Aku benar-benar frustrasi saat ujian mid-term pertama sekali mata kuliah Teori Ekonomi Mikro, saat aku belum mengerti apa-apa karena baru sebentar kuliah. Soal ujian ada 7 soal dan semuanya beranak cucu. Tiap soal masing-masing punya anak minimal 3 bahkan sampai 6, belum termasuk cucu-cucunya. Semua induk soal terhubung satu sama lain dengan anak dan cucunya. Jadi jika salah menjawab soal induknya, maka akan salah semua sampai anak cucunya. Tidak ada toleransi dalam pemberian nilai. Jika cara mengerjakannya benar dan jawabannya salah, tetap saja tidak diberi skor. Skor hanya diberikan jika caranya benar dan jawabannya juga benar.
Seminggu setelah ujian selesai, hasil ujian dibagikan oleh dosen. Dia memeriksa setiap jawaban dengan teliti dan menunjukkan letak kesalahan di lembar jawaban ujian tersebut. Saat lembar jawaban dibagikan, kondisinya dalam keadaan tertutup. Namun tanpa sengaja aku melihat nilai dari beberapa teman sekelasku, ada yang mendapat skor 65, ada yang 70. Aku? Saat dosenku memanggil namaku dan memberikan kertas itu, aku tau dia memandangku dengan sangat iba. Aku mencoba untuk tersenyum padanya, seolah berkata bahwa aku sudah siap dengan itu. Berusaha tegar meskipun dalam hati aku sudah menangis darah. Sesampainya di kursi, aku membuka lembar jawabanku, ternyata aku hanya mendapat nilai 2 dari skala 100. Astagah! Rasanya langsung lemas, kepala berat, pandangan berkunang-kunang. Ingin menangis saja rasanya. Kukumpulkan sisa tenagaku untuk menahan air mata dan aku tersenyum memandang kertas jawaban itu. Kusempatkan diri untuk memfoto nilai 2 itu sebelum kertas jawaban itu dikumpul kembali. Ini akan menjadi hal yang tidak terlupakan bagiku, untuk pertama kali seumur hidup aku mendapatkan nilai serendah itu. Kuharap juga menjadi yang terakhir kali. Ampun. Aku tidak mau lagi.

Sore itu, 24 Desember 2014, sebelum malam Natal tiba, kami menjumpai dosen mata kuliah tersebut untuk membicarakan nasibku ke depan. Apakah aku bisa mengikuti ujian perbaikan atau setidaknya mengerjakan tugas agar nilaiku bisa sedikit terangkat. Namun gayung tidak bersambut, dosen tersebut tidak menyetujuinya. Beliau tetap pada standar yang telah dibuat, tidak ada pengecualian. Beliau hanya berpesan agar aku melakukan yang terbaik. Ucapan Selamat Natal mengakhiri pembicaraan kami. Aku sangat sadar bahwa akulah paling bodoh di kelas kami itu. Nilai 2 itu sudah menghancurkan harapanku untuk lulus mata kuliah itu seberapa tinggi pun nilai yang kuperoleh dalam ujian selanjutnya. Nyesek. Itulah kado Natal buatku.
Mata kuliah yang lainnya juga tidak lebih baik. Suatu hari kami ujian mata kuliah Ekonometrika, mata kuliah yang menggabungkan Matematika, Statistika dan Teori Ekonomi, juga dengan bantuan komputer. Soalnya ada 10 dan seperti biasanya soal itu beranak cucu. Kami diberikan waktu 3 jam untuk menyelesaikannya. Namun pada saat pertama sekali membaca soalnya pun aku sudah keringat dingin, tidak ada satu pun yang kumengerti. Padahal aku sudah berusaha keras mempersiapkan diri, sampai-sampai aku hanya tidur 2 jam tiap hari selama seminggu sebelum ujian itu. Aku mencoba menggali memoriku saat ujian, mengingat setiap rumus yang digunakan dan mengaplikasikannya. Aku tetap mengerjakan walau aku sendiri tidak tahu apa yang sedang kutulis. Akhirnya setengah jam pertama aku sudah menyerah, tidak tahu lagi yang mau kutulis. Buat apa aku berlama-lama di ruang ujian itu jika aku tidak tahu apa-apa. Aku melirik Dori, ternyata dia juga sama. Kukirim kode isyarat padanya agar kami keluar saja. Ok. Dia membaca kode dengan baik. Kami mengumpul kertas jawaban yang sebagian besar kosong itu. Assisten dosen yang mengawasi kami heran melihat tingkah kami. Saat orang lain merasa waktu yang diberikan 3 jam itu kurang, kami justru sudah keluar setelah setengah jam. Ajaib mahluk yang dua ini, pikirnya.
Ada satu lagi pengalaman tak terlupakan yang berhubungan dengan kemampuan Bahasa Inggris yang amburadul ini. Kami diharuskan mempresentasikan sebuah paper untuk mata kuliah lain, Teori Ekonomi Makro. Baiklah, ini akan menjadi pengalaman pertamaku presentasi dalam Bahasa Inggris.
Aku satu kelompok dengan Dori dan mendapat giliran presentasi paling akhir, sehingga kami punya waktu kurang lebih dua bulan untuk persiapan. Selama dua bulan itu Dori mempersiapkan bahan presentasi kami dan berulangkali kami menemui dosen mata kuliah tersebut untuk berdiskusi tentang bagian-bagian yang tidak kami pahami dalam paper itu. Dosen tersebut mengajari kami dengan sabar, bahkan untuk hal-hal paling mendasar yang seharusnya sudah kami pelajari ketika kuliah S1. Sesungguhnya aku sangat kesusahan memahami satiap rumus dan hitungan di dalam paper itu. Bahkan jika boleh jujur, hampir tak ada bagian yang kumengerti dengan baik.
Akhirnya kami berbagi tugas dengan Dori supaya kami bisa fokus pada bagian masing-masing. Aku mendapat bagian tengah, bagian yang seharusnya paling mudah namun tetap susah bagiku. Begitupun aku mempelajari paper itu pelan-pelan sambil berusaha menghafal kata-kata yang akan kuucapkan di setiap slide. Ketika latihan presentasi, Dori mengajariku pronunciation beberapa kata yang sangat sulit kuucapkan.

“Bukan begitu, itu salah”, kata Dori dengan kesal.

“Apanya lagi yang salah? Terus bagaimana yang benar?”, bantahku.
Dori pun mengucapkan cara pelafalan yang sebenarnya.

“Aku juga bilang begitu”, kataku menyela dia, karena memang aku bermaksud melafalkan demikian.

“Matamu itu, begininya kau bilang”, katanya dengan logat Bataknya.

Ah, aku memang sangat kesusahan dalam pelafalan kata-kata Bahasa Inggris. Isi di kepalaku sering kali berbeda dengan apa yang kulafalkan. Aku sering berdebat dengan Dori tentang pelafalan itu. Dengan semua itu, bisa anda bayangkan betapa kacau presentasi yang kulakukan saat itu?
Saat Dori presentasi, semua mahasiswa masih memperhatikan dia atau setidaknya masih membaca slide presentasi. Dosen kami juga masih mangangguk-anggukkan kepala tandanya dia mengerti. Ok, tibalah giliran ku. Astagah! Setengah dari teman sekelasku tidur dan setengah lagi tidak peduli. Hanya dosen kami itu yang mencoba mendengarkanku meski aku tau dia juga kebingungan dengan apa yang kukatakan. Ah... apa yang harus kulakukan dengan Bahasa Inggris ini?
Lidah ini terlalu kaku untuk berbicara Bahasa Inggris. Sangat kaku. Mungkin karena kebanyakan makan cabe dan andaliman begini jadinya. Aku sudah berusaha belajar Bahasa Inggris sejak dulu, bahkan aku sudah mengikuti les Bahasa Inggris sejak SMA. Sampai aku kuliah dan kerjapun, aku masih menyisihkan waktu dan uang untuk kursus Bahasa Inggris. Sewaktu kerja, aku mengikuti kursus di sebuah lembaga kursus Bahasa Inggris ternama di Indonesia. Saat itu Dori adalah salah satu staf pengajar di lembaga tersebut. Lalu kenapa aku harus bayar mahal-mahal ke lembaga itu untuk diajari oleh teman dekatku sendiri? Bukankah lebih baik aku les sama Dori saja?
Ya, pernah aku belajar sama Dori, tapi dia menyerah menghadapiku. Katanya aku tidak pernah serius, terus main-main dan mengganti jadwal sesuka hati. “Kau les saja di luar, biar bayar mahal agar kau serius”, katanya saat itu. Begitulah aku kembali belajar di lembaga terkenal itu, dan sesekali Dori mengajar di kelasku. 
Susah memang. Tapi aku selalu tahu bahwa susah bukan berarti tidak bisa. Itulah prinsip yang selalu kupegang. Bukan karena aku tidak bisa Bahasa Inggris lalu aku berhenti mengejar mimpi. Tidak! Aku akan terus melangkah meski banyak rintangan. Bagaimanapun aku harus siap dengan segala konsekuensi dan tahan banting terhadap badai apapun yang mungkin akan kuhadapi di depan.

Masa-masa libur aku lalui dengan tidak tenang menunggu-nunggu nilai ujian keluar. Setiap hembusan napas itu adalah helaan panjang yang seolah mengeluarkan rasa sesak di dada. Sesungguhnya aku bukanlah tipe mahasiswa yang mengejar nilai dan suka cari muka di depan dosen hanya untuk mendapat nilai bagus. Sejak S1 aku tidak terlalu perduli dengan nilai yang diberikan oleh dosen selama aku melakukan yang terbaik yang bisa kulakukan. Terdengar berlebihan, tapi aku hanya peduli pada ilmu yang mendukungku mengejar mimpi itu. 
Di sini, apa yang aku anut tentang nilai ketika S1 berubah total. Nilai itu menjadi sangat penting bagiku karena menyangkut hidupku selama disini. Beasiswa di sini harus didaftar setiap semester dan penilaiannya didasarkan pada IP. Inilah yang membuat rasanya nyesek di dada selama menunggu nilai. Pada malam pengumuman nilai itu keluar, rasanya begitu hancur melihat aku gagal satu mata kuliah. Mata kuliah wajib yang telah mengajariku bagaimana rasanya mendapat nilai 2. Yah, mata kuliah wajib. Artinya aku harus mengulang kembali mata kuliah yang paling sulit itu tahun berikutnya. Dan seperti yang sudah kuduga sejak awal, aku mendapatkan IP yang sangat rendah. Ya, IP ku di bawah 3 dari skala 4.5. Astagah! Ini yang terendah sepanjang hidupku. Sedangkan waktu kuliah S1 saja dengan skala 4 IPku tidak pernah dibawah 3. Harusnya aku sudah siap dengan semuanya itu, tapi tetap saja saat menerima kenyataan itu rasanya remuk. Tidak tau harus berkata apa lagi. Tanpa bisa kutahan akhirnya air mata itu mengalir juga.
Hilang sudah harapanku untuk mendapatkan beasiswa semester berikutnya. Jangankan untuk mendapatkan beasiswa, untuk melamar beasiswa saja sebenarnya IPku sudah tidak lagi memenuhi syarat. Benarlah aku penutup ranking semester itu, ranking terakhir dari semua mahasiswa dalam kelasku. Dori? Persis diatas ku. Rasanya hancur, sedih, nyesek, pengen teriak, semuanya campur aduk. Baiklah, hidup memang tidak sebercanda film telenovela itu terkadang. Tidak ada pilihan lain selain terus berjalan.

Aku harus mempersiapkan diri untuk menghadapi kemungkinan terburuk semester berikutnya, kalau aku tidak akan mendapatkan beasiswa lagi. Aku mengajak Dori mencari pekerjaan selama libur musim dingin. Kami keluar masuk restoran untuk menanyakan pekerjaan, menjadi tukang cuci piring atau tukang sapu atau apapun yang bisa menghasilkan uang yang halal. Kembali lagi masalah bahasa, semua restoran menolak kami karena tidak bisa berbahasa Mandarin.
Aku memutar otak, mencari pekerjaan yang tidak membutuhkan kemampuan Bahasa Mandarin. Akhirnya kami diterima bekerja di sebuah ladang organik selama libur musim dingin itu. Kami harus berjuang melawan dinginnya udara musim dingin yang menusuk sampai ke tulang saat itu, bangun pagi-pagi untuk menyiapkan bekal makan siang dan sarapan. Pukul 5.30 pagi, di saat orang lain masih tidur lelap, kami sudah berangkat meninggalkan asrama, mengayuh sepeda menuju ladang organik tersebut. Kami bekerja selama 8 jam dalam sehari, 5 hari dalam seminggu. Kadang kalau laoban (bos) menyuruh kami bekerja pada hari Sabtu dan Minggu, kami pun akan bekerja setengah hari. Di ladang kami mengerjakan banyak hal seperti mencangkul, menanam, dan memanen sayur-mayur. Tiga hari pertama letihnya benar-benar terasa, seluruh badan terasa pegal, otot terasa kaku, dan tidak bisa tidur. Remuk.  Namun bagi kami anak petani, pekerjaan seperti itu sebenarnya tidaklah terlalu sulit. Setelah seminggu bekerja kami mulai terbiasa dengan semua rasa capek itu, bahkan mulai menikmatinya seperti yang biasa kami lakukan ketika pulang kampung saat libur.
Setelah libur selesai kami pun berhenti kerja di ladang. Padatnya jadwal kuliah dan materi yang sulit benar-benar tidak memungkinkan kami untuk bekerja sambil kuliah. Dengan IP yang sangat rendah dan tidak memenuhi syarat itu aku membulatkan tekad untuk tetap mendaftar beasiswa. Aku benar-benar bergantung pada beasiswa ini, karena orang tuaku tidak mungkin membiayai aku lagi. Mereka masih miskin seperti dulu dan sekarang mereka juga sudah tua. Saat menunggu pengumuman beasiswa, jantungku selalu berdebar kencang ketika aku mengingatnya. Tibalah saatnya kami mengetahui hasil seleksi beasiswa itu lebih awal, saat kami meeting dengan profesor yang merupakan ketua departemen kami.
“Dami dan Dori, saya baru saja menghadiri rapat seleksi beasiswa. Dan berita buruk untuk kalian berdua, kalian hanya mendapat beasiswa tipe C karena nilai kalian sangat rendah. Kalian harus membayar uang kuliah dan uang kredit seperti mahasiswa lokal. Apa itu masalah buat kalian?”, kata profesor itu dengan sangat berat. Kami sempat terdiam sejenak, sebelum akhirnya menjawab dengan suara yang hampir tidak terdengar, “Yes, Professor”.
Awkward moment itu berlangsung cukup lama. Kami tahu bahwa beliau sangat tidak tega melihat kami dalam keadaan seperti itu. Aku mencoba tenang dan menghitung-hitung biaya yang harus kami bayar dengan status beasiswa itu. Belum lagi selesai menghitungnya kepalaku sudah seperti bergoyang membayangkan angka yang besar itu.
“Saya sudah berbicara panjang pada dewan komite beasiswa tentang betapa sulitnya mendapatkan nilai tinggi di jurusan kita, berbeda dengan jurusan lain. Saya sudah mencoba sebisa mungkin mempertahankan kalian, namun akhirnya kalah karena nilai kalian sangat rendah”.
Belum cukupkah malu akibat nilai itu? Belum cukupkah aku harus mengulang setengah tahun lagi karena nilai itu? Haruskah nilai itu membuat hidupku semakin berat di Taiwan ini? Rasanya begitu hancur. Dan masih, hidup harus terus berjalan.
Hitung-berhitung, kami harus mendrop beberapa mata kuliah untuk mengurangi beban kredit pembayaran kami. Itu artinya kami akan tamat lebih lama karena kami harus menyelesaikan 43 kredit selama 2 tahun, jauh melampaui kewajiban kredit program master di jurusan lain. Dan parahnya kami hanya bisa mendaftar beasiswa dalam jangka 2 tahun. Total biaya yang harus kami bayar adalah NTD 45.000, sekitar 18 juta rupiah dengan kurs NTD 1 = Rp.400,-. Dari mana mencari uang sebanyak ini? Beban kuliah semakin berat, bekerja tidak mungkin, butuh uang 18 juta rupiah untuk bayar uang kuliah, apa yang bisa kulakukan?
Air mataku berjatuhan dalam perjalanan pulang setelah meeting dengan profesor. Sesakit inikah mengejar mimpi itu? Seberat inikah beban yang harus dipikul orang miskin itu? Kenapa tidak pulang saja ke Indonesia? Bukankah sudah punya gelar S1? Nanti juga bisa bekerja di Indonesia. Terselip rasa ingin menyerah.
Tidak! Aku tidak akan pulang. Mimpi itu telah merasuk jiwaku terlalu dalam dan aku sangat mencintai mimpi itu. Aku mengatakan pada diriku bahwa aku ini adalah seorang pahlawan perang. Hanya ada dua hal yang membuat seorang pahlawan pulang, yaitu menang atau mati. Aku belum menang dan masih hidup, aku akan terus berperang sampai menang. Sampai aku tiba pada mimpi itu. Dan ini hanyalah langkah awal menuju itu. Di tengah deraian air mata itu aku menemukan semangatku kembali.
Dimana ada kemauan di situ ada jalan, itulah yang kupikirkan. Aku memutuskan untuk meminjam uang dari teman-teman sesama mahasiswa Indonesia yang lebih beruntung mendapatkan beasiswa Dikti dari pemerintah. Aku meminjam sebanyak NTD 42.000,- dari tiga orang, jumlah yang tidak sedikit bagiku. Uang dari hasil bekerja di ladang benar-benar tidak cukup, bahkan untuk biaya hidup pun aku masih harus meminjam lagi. Aku mencoba sharing tentang kondisi kami pada teman sesama orang Indonesia yang kuliah di kampus lain. Aku bermaksud untuk meminjam uang secara rutin setiap bulan agar bisa konsentrasi kuliah. Setidaknya tidak lagi memikirkan apa yang akan dimakan besok. Luar biasa pertolongan mereka. Bahkan ada seorang teman menghubungkan ku dengan seorang Romo dari Indonesia yang sedang study dan melayani di Taiwan. Romo ini menghubungi aku dan memberitahu akan ada seseorang menelepon ku dalam dua hari ke depan. Hari berikutnya HP ku berbunyi, seseorang diseberang sana berbicara bahasa mandarin tak ku mengerti. Akhirnya dia mengirim pesan meminta alamat email. Kami komunikasi lewat email dengan bantuan Google Translate. Dia meminta hasil scan transkrip nilai dan kartu mahasiswa kami. Dua minggu kemudian, sekretaris departemen kami menghubungi ku dan mengatakan ada surat penting. Saat itu aku sedang bekerja sebagai tukang bersih-bersih kamar mandi hotel sementara Dori sudah ada di asrama. Dori pun ku utus menjemput surat itu. Ternyata surat itu isinya adalah cek senilai NTD 20.000. Oh. Tuhan. Siapakah orang yang berbaik hati itu?
Sekretaris departement kami itu membantu Dori dalam proses pencairan cek itu dan menerjemahkan setiap bahasa mandarin itu. Ternyata pengirim cek itu adalah yayasan katolik yang membantu orang-orang yang kesusahan dalam dana pendidikan. Jadi, orang yang selama ini ternyata menghubungiku lewat email adalah seorang suster. Bantuan dana ini cukup menopang hidup kami beberapa bulan tanpa harus memikirkan pinjaman untuk sementara.
Aku dan Dori memutuskan untuk hidup dengan sangat hemat. Kami hanya makan sayur dan ubi. Kadang-kadang makan buah jika sedang ada diskon. Tidak makan nasi sama sekali. Karena kalau makan nasi, setidaknya harus ada anak ayam, anak ikan atau anak babi sebagai lauk di sisinya, bukan? Dan itu terlalu mahal bagi kami. Merebus ubi atau sayur tidak hanya lebih hemat, tapi juga lebih sehat dan lebih cepat. Kami juga harus belajar menggunakan waktu dengan sebaik mungkin. Saat itu kami benar-benar banting tulang dalam hal belajar. Kami jadi terbiasa untuk tidur hanya dua jam dalam sehari. Kami tidak mau kejadian semester pertama terulang kembali.
Di situ juga kami belajar manajemen keuangan yang baik. Meskipun uang yang kuperoleh berasal dari pinjaman, aku membagi pengeluaranku menjadi lima bagian: 10% untuk ibadah, 50% untuk konsumsi, 20% untuk tabungan, 10% untuk sosial dan 10% untuk berjaga-jaga. Nah, itulah sebabnya meskipun aku memiliki banyak hutang, aku masih sempat-sempatnya mentraktir teman, mengirimkan kado untuk keponakan yang baru lahir, bahkan pergi jalan-jalan. Bukan karena aku kaya, bukan! Aku bahkan memiliki hutang lebih 20 juta rupiah pada usia 24 tahun. Anak gadis apaan punya hutang sebanyak itu? Aku hanya ingin menikmati setiap rasa yang kulalui dalam hidup ini, baik itu manis maupun pahit. Jangan karena punya hutang jadi tidak menikmati hidup, jangan karena miskin jadi tidak bersosialisasi. Hidup harus normal meskipun miskin dan banyak hutang.
Kami berusaha untuk bangkit dari segala keterpurukan di semester pertama itu. Setelah mengetahui betapa buruknya kondisi kami di semester sebelumnya, ketua departemen kami memutuskan untuk membimbing kami secara langsung. Kami berada di bawah pengawasan ketatnya selama semester kedua. Benar saja kami dihajar untuk belajar mati-matian. Setiap minggu kami mengadakan pertemuan selama 2 jam. Setiap pertemuan kami harus mempresentasikan masing-masing sebuah paper. Bukan paper biasa, tapi paper yang diterbitkan dalam jurnal-jurnal top internasional, jenis paper yang tidak pernah kukenal saat aku kuliah S1. Tidak cukup hanya mempresentasikan, kami juga harus menyelesaikan semua perhitungan matematis yang ada di dalam paper itu. Semua persamaan dan antek-anteknya harus bisa kami jelaskan dengan baik. Bagaikan anak ayam kebingungan, sering kami menemui diri kami membodoh saat beliau menyuruh kami menyelesaikan suatu perhitungan di papan tulis. Beliau tidak segan memarahi kami jika kami tidak tahu cara menurunkan, menginverskan, mengintegralkan dan mengoperasikan semua pasukan matematika dalam Ilmu Ekonomi. Ah... Sungguh berat.
Sebenarnya aku butuh waktu setidaknya sebulan untuk menguasasi satu paper yang tergolong mudah. Namun beliau hanya memberi kami waktu seminggu untuk mempelajari dan menyelesaikan semua perhitungan di dalam paper-paper yang begitu sulit. Belum lagi kami harus memikirkan tugas-tugas mata kuliah lainnya yang sama sulitnya. Benar-benar ngos-ngosan, bernapas pun rasanya hampir tidak sempat. Dengan kemampuan matematika kami yang begitu lemah, rasanya wajar beliau memperlakukan kami seperti anak SD. Walau kadang dia marah-marah, kami sadar di balik marahnya beliau menginginkan yang terbaik untuk kami. Dan aku sendiri sungguh bersyukur memperoleh kesempatan untuk dibimbing oleh seorang profesor yang sangat disegani di bidang ini. Walau beliau begitu keras, kami merasa beliau memperlakukan kami seperti anaknya. Aku yakin beliau juga merasakan hal yang sama.
Sejujurnya, aku sungguh menikmati keletihan semester dua itu. Melalui paper-paper yang kami presentasikan aku mulai mengerti untuk apa digunakan teori dan konsep yang kami pelajari di semester satu. Cara profesor membimbing kami membuat kami juga semakin tangguh dalam mata kuliah lainnya. Kami mulai bisa mengikuti semua pelajaran yang diajarkan dosen, bahkan mulai bisa mengimbangi teman sekelas. Dan aku sadar betul, kemampuan Bahasa Inggrisku jauh lebih baik setelah dipaksa presentasi setiap minggu oleh profesor sekaligus ketua departemen kami itu.
Semester kedua akan berakhir, sibuk dengan tugas final project, libur summer pun tiba. Saatnya melepas lelah dan memandang jejak yang kami lalui selama semester dua. Sungguh puas rasanya melalui itu semua dengan kemampuan terbaik kami. Bahagia tak terungkapkan saat pengumuman nilai, aku dan Dori mendapatkan IP sempurna, 4.5 dari skala 4.5. Angka yang tidak pernah aku impikan, apalagi harapkan. Kami berdua berada pada posisi ranking 1. Rasa capek dan lelah itu terbayar akhirnya. Aku terdiam, di pelupuk mataku hangat, aku terharu dengan semuanya. Air mata dan keringat itu begitu indah. Jika semester lalu aku menangis sedih karena nilai terendah yang kuperoleh sejak aku mengenal bangku sekolah, kali ini aku menangis bahagia karena nilai tertinggi yang pernah kudapatkan sejak aku mengenal bangku sekolah. Aku berharap bahwa nilai ini akan membawaku mendapatkan beasiswa sehingga aku bisa membayar hutang-hutangku.
Libur summer itu kami bekerja lagi. Kami harus mencari pekerjaan lain karena peraturan pemerintah tidak mengizinkan lagi mahasiswa untuk bekerja di ladang. Kami menemukan pekerjaan yang baru di gudang pengepul barang-barang bekas, tepatnya bekerja di tempat sampah. Pekerjaan kami di sana adalah memilah sampah berdasarkan jenisnya, membedakan botol, kaleng, kertas dan sebagainya. Kami mencoba menikmati pekerjaan itu meski sebenarnya sangat kotor, bau, dan melelahkan. hanya dengan mengingat gaji, rasa capek dan udara panas saat itu sedikit tidak terasa. Kami hanya bekerja selama dua minggu karena sampah-sampah yang menggunung itu akhirnya habis juga kami pilah-pilah. Kami mencoba mencari pekerjaan lain setelah itu, tapi kami tidak menemukan pekerjaan lain lagi. Baiklah, mungkin sudah saatnya kami beristirahat sejenak dan menikmati liburan yang tersisa dengan sedikit hiburan.
Telah kualami sulitnya perjuangan selama satu tahun di Taiwan, dan kenyataannya aku sanggup melaluinya. Liburan berakhir, saatnya memulai kembali perjuangan yang baru. Sungguh bersyukur, pengumuman beasiswa menyatakan bahwa aku mendapat beasiswa tipe A, beasiswa yang membebaskanku dari pembayaran uang kuliah dan juga memberi tunjangan hidup sebanyak NTD 30000 selama satu semester. Dengan ini aku bisa melunasi semua hutangku semester lalu.
Bukan karena usahaku semata, semua adalah berkat Tuhan yang bekerja melalui orang-orang di sekitarku. Kepahitan yang telah kulalui membuatku semakin berani untuk berkelana lebih jauh lagi, mengejar impian yang semakin nyata. Tidak ada lagi kekhawatiran dan ketakutanku mengejarnya.
Jangan karena miskin jadi takut bermimpi, jangan karena bodoh jadi tidak mau melangkah. Bermimpilah semiskin apapun, melangkahlah sebodoh apapun. Tidak ada yang mustahil. Aku ini miskin dan tidak pintar. Tak ada yang kumiliki. Yang kumiliki hanyalah mimpi dan keberanian untuk mewujudkannya. Sebagaimanapun kerasnya hidup mencabik-cabik aku, aku takkan berhenti sampai mimpi itu menjadi nyata.
Saat kita berjuang, segala alam pun akan ikut berjuang bersama kita. Seperti kata Adam Smith yang disebut sebagai Bapak Ekonomi itu, tentang the invisible hand (tangan-tangan tak tampak). Akan ada tangan-tangan tidak terlihat yang akan mendorong pasar itu mencapai keseimbangan. Saat kita terpuruk, sebenarnya ada tangan-tangan yang tidak kita lihat yang bekerja untuk mencapai keseimbangan kita. Aku menyebut tangan tak terlihat yang bekerja itu “Tuhan”.
Perjalanan ini masih panjang, perjuangan belum berakhir. Kusadari mimpi yang lebih besar kini kembali mulai mengetuk-ngetuk kepalaku dari dalam. Telah kujalani masa-masa sulit dalam perjuanganku meraih mimpi, telah kulalui banyak rintangan, dan telah kutaklukkan banyak tantangan. Dan aku percaya, aku juga bisa melalui apapun yang ada di depan sana. Ya, cerita ini belum selesai, mimpi ini belum selesai. Sampai jumpa di gerbang kesuksesan, jangan hanya di gerbang mari berjalan masuk ke dalam kesuksesan itu.

Komentar

  1. Salut dengan perjuangan Anda. Semoga bisa menjadi inspirasi bagi banyak pemuda Indonesia agar pantang menyerah.

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. sangat mengesankan, semoga saya juga bisa meniru kakak

    BalasHapus
  4. terimakasih banyak kak, sangat memotivasi saya yg juga bercita-cita untuk berkuliah di taiwan 😊😊, btw masih kuliah di taiwan atau udah lulus kak?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semangat mengejar mimpi.

      Sekarang udah tamat dan udah balek ke Indonesia 😊

      Hapus
  5. Kak boleh minta WAnya ? Inu sangat mengesankan. Perjuangan yang luar biasa

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo.. saya kirim lewat email ya, silahkan kontak dhorlink@gmail.com 😊

      Hapus
  6. Kak kalau boleh minta no wa nya...

    BalasHapus
  7. Hebat... Semangat mb Dami dan mb Dori... Raih mimpimu berikutnya. Doaku untuk kalian.

    BalasHapus
  8. mba, selama di sana ada ikut perkumpulan ga yah ?? perkumpulan mahasiswa indonesia atau yang di kampus mba di taiwan, kalau ada share aku dong hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ada PPI Taiwan, ada PPI NDHU, bisa search di facebook :)

      Hapus
  9. Kak, apakah semua universitas di Taiwan mahasiswa lokal dan internasionalnya digabung dalam satu kelas?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tidak, tergantung kelasnya. Kalau kelas internasional biasa semua mahasiswa asing dan pakai Bahasa Inggris. Jadi sebelum daftar pelajari dulu program yang akan dilamar :)

      Hapus
  10. Minta WA nya dong kak,masih ragu mau kuliah ketaiwan

    BalasHapus
  11. Kak boleh minta no wa nya?? Mau nanya" soal kuliah di taiwann😊

    BalasHapus
  12. Ka saya email kk..
    Tolog di balas ka yaa 😁
    Terima kasih kk

    BalasHapus
  13. Great Kak Doriani Lingga. your story make me boost to take internship in Taiwan. This is the best exprience that I'd ever read. Hope God bless U everywhere. any way, I need continue your story till you get master degree. and I'll wait for it. Success...

    BalasHapus
  14. Keren banget Kak perjalanan hidup kakak. Ada sedihnya, ada terharunya juga. Mengejar mimpi memang tidak mudah. Semoga aku bisa setangguh kakak

    BalasHapus
  15. Wow....sukses buatmu ya dek dan semoga menginspirasi bagi yg lain.

    BalasHapus
  16. Ibu dosennku di Salah satu univ di jogja. Thanks for sharing your experience. I hope someday, I can follow your success.

    BalasHapus
  17. halo kak, aku berniat belajar bahasa ke taiwan, apakah ada rekomendasi beasiswa? dan tempatnya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Coba lamar beasiswa universitas. Caranya buka website universitas di Taiwan yang ingin dilamar, pelajari cara lamar admission dan beasiswanya :)

      Hapus
  18. Sungguh kisah yang luar biasa, perjuangan dan keringat kalian luar biasa terbayarkan sangat me motivasi dan menginspirasi saya sampai terharu semoga sukses terus kak jia you 👏

    BalasHapus
  19. Halo kak, kalau tidak keberatan, aku boleh nanya-nanya lebih lanjut nggak mengenai kuliah di Taiwan? Mungkin aku boleh minta E-mail, Wa, atau telegram?
    Terimakasih kak, sebelumnya 😊

    BalasHapus
  20. Luar biasa ceritanya kak, saat ini aku juga sedang berkuliah di National Dong Hwa University untuk mendapatkan gelar Master. Jujur cerita kakak, benar2 memotivasi aku. Part saat kakak bilang "Dalam peperangan hanya ada dua pilihan yaitu Hidup dan Mati, Kalah dan menang" Itu benar2 memberikan dorongan kepada aku pribadi untuk tetap semangat menjalani hari-hari ku disini meskipun berat. Apalagi hal yang tidak kusangka-sangka adalah kebanyakan dari teman sekelas ku adalah Mahasiswa Ph.d dan itu disemua Mata Kuliah aku sekelas dengan mahasiswa Ph.d tentu saja tugas yang diberikan oleh dosen sama dengan tugas mereka. Terimakasih kak untuk ceritanya yang luar biasa.

    BalasHapus
  21. Tulisanmu buat aq nangis dan terharu. Tapi memang benar adanya. Kita jauh tertinggal ya dek.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Contoh Perhitungan Data Statistik

Teori ekonomi Mikro